Allahu akbar... allahu akbar...
Matahari kini sudah lewat di atas kepala. Panasnya luar biasa. Suara adzan, menyerukan panggilan Tuhan. Tak seperti biasa. Hatiku menggerakan kakiku untuk melangkah ke mesjid yang terdekat. Setelah berwudhu di belakang pondokan, aku bergegas menuju mesjid. Entah kenapa, perasaanku terasa nyaman.
Miax, itu namaku. Tidak pake embel-embel lagi. Begitu sederhana, pikirku. Miax, begitulah orang tuaku memanggilku. "Apa bapak ibu penganut aliran Marx?", tanyaku suatu hari pada kedua orang tuaku. Saat itu aku sudah duduk di bangku SMP. Pertanyaan itu terlontar setelah membaca buku aliran 'kiri' itu. "Tidak, nak. Bukan karena itu. Nama Marx saja baru kudengar sekarang," jawab ibuku lembut."Sudahlah. Kau akan tahu kelak ketika engkau dewasa," sahut bapakku juga. Aku pun mengangguk. Meski dalam hati masih tersimpan berjuta tanda tanya.
Mesjid itu terletak 2 blok dari kamar kostanku. Lumayan dekat. Makanya, suara azan jelas sekali terdengar sampai dikamarku.
Setibanya disana, kulihat masih agak sepi. Muadzin yang mengumandangkan azan sementara mengambil air wudhu. Aku langsung bergegas masuk mesjid dan mengambil tempat dibagian belakang. Segera kulaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Setelah shalat dan berdoa, aku mengambil al-Qur'an yang disimpan disamping jendela. Tidak biasanya juga aku ingin membaca kitab suci itu. Lembaran demi lembaran ku buka. Aku hanya membaca terjemahannya saja. Maklum saja, aku tidak lancar membaca al-Qur'an.
Aku terkejut. Mataku secara sekilas membaca terjemahan ayat Al-Qur'an. Isinya membuat hatiku bergetar.
Engkau tidak akan bisa lari dari kematian. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Kau tidak akan tahu di bumi mana engkau mati dan dengan cara apa kau mati.
Tiba-tiba saja aku teringat mati. Aku teringat orang tuaku. Teringat dosa-dosa yang sudah kulakukan. begitu banyak. Tak terhingga. Tak terdefinisi lagi. Sementara kebaikan apa yang sudah kubuat? Entahlah, aku saja tidak yakin apa aku sudah pernah melakukan kebaikan.
Batinku bergejolak. Untuk pertama kalinya aku menyadari, hidup di dunia ini hanya sementara. Kita hanyalah kafilah. Singgah di dunia untuk mengumpulkan bekal untuk kehidupan yang kekal selanjutnya.
Batinku bergejolak. Untuk pertama kalinya aku menyadari, hidup di dunia ini hanya sementara. Kita hanyalah kafilah. Singgah di dunia untuk mengumpulkan bekal untuk kehidupan yang kekal selanjutnya.
Astagfirullah....
--<bersambung>--