Laman

Selasa, 11 Juni 2019

Warteg Oh Warteg

Image: kurangajats
Warteg. Belakangan ini warteg menjadi bahan viralan para netizen yang gak pernah salah. Pasalnya, usut punya usut, ada oknum warteg yang secara sepihak memberikan tarif makan diluar jangkauan pembelinya. Ada yang ratusan ribu bahkan sejutaan. Itu dibuktikan dengan capturan nota makan si korban. Lah, sejak kapan makan di warteg pake nota? 

Bukannya saya tidak berpihak pada konsumen. Maaf ya netijen. Tapi ayo kita telaah secara saksama sebelum menjudge sesuatu. Pengalaman bertahun-tahun makan diwarteg, sistem bayarnya memang dilakukan secara sepihak oleh empunya warteg. Nasi setengah tambah sayur capcai tambah telur bulat hari ini bisa jadi beda harganya dengan nasi setengah tambah sayur capcai tambah telur bulat besok. Bisa jadi perubahan harga itu disebabkan karena kurs mata uang yang gak stabil atau karena harga bahan pokok yang merangkak naik. Apapun faktornya, saya rasa harganya tidak berubah secara signifikan. Masih masuk di akal dan ramah di dompet bagi para jiwa misqueen kayak saya.

Warteg itu ibarat seorang ibu bagi kami para perantau. Tak ada ibu yang membiarkan anak-anaknya kelaparan. Restoran mana yang ngasih nasi porsi ekstra tanpa ada biaya tambahan. Cuma warteg. Restoran mana yang mau mgasih ekstra kuah daging tanpa ada biaya tambahan. Cuma warteg. Makanya jangan heran, tanggal tua pun kami berani ke warteg. Meski kantung kosong, makanan tetap disokong. 

Terima kasih ibu. Salam warteg. 

Wasalam. 

Senin, 10 Juni 2019

Perihal Maskapai

Photo by Anugrah Lohiya from Pexels

Hal yang patut diapresiasi dari maskapai kepala singa adalah konsistennya. Ya, konsisten dalam hal delay. Dua tahun terakhir saya tidak pernah lagi menggunakan maskapai ini gara-gara kecewa. Kecewa karena. Banyak hal. Silahkan diisi dikolom komen. Saya gak perlu menceritakan sisi negatifnya toh mau gak mau saya tetap naik maskapai ini. Hari ini mengapa harus menggunakan maskapai ini? Karena tiket maskapai lain harganya meroket. Saya harus ikhlas balik satu hari lebih awal karena harga tiket pada hari Minggu, besok, sudah mencapai angka delapan juta rupiah. Bisa untuk tiga buah tiket destinasi Jakarta Medan untuk tarif 'normal' yang sudah gak normal lagi. Saya ingat tahun kemarin, dengan uang 600ribu saya sudah bisa ke Medan dengan maskapai berwarna hijau. Sekarang boro-boro. Dengan kondisi saat ini, uang 600ribu itu hanya untuk biaya bagasi pada maskapai kepala singa. Sudah mahal, bagasipun bayar. Selamat datang di negeri 62.

Boleh curhat dong. Sebagai seorang perantau, dimana alamat domisili berbeda dengan alamat KTP (baca : lintas pulau), pesawat adalah alat transportasi paling efisien. Dulu, sebelum tarifnya melambung. Zaman mahasiswa, kapal laut adalah transportasi paling primadona. Tiket murah tapi durasi bisa sampai separuh hari. Naik jam 7 malam, tibanya jam 7 malam. Kok gak naik kapal sekarang? Karena status saya adalah aparat pemerintah sekarang. Jadi sangat terikat dengan namanya cutay. Naik kapal bisa bisa aja, tapi konsekuensinya jatah cuti saya habis seminggu dijalan. Untuk jalan aja itu loh. Lah, family timenya kapan? Keburu cuti saya habis.

Makanya ketika pemerintah berniat untuk membuka ruang buat maskapai luar untuk masuk di Indonesia, saya sangat bersyukur, hampir aja sujud syukur. Dalam hati saya berucap, mungkin ini jalannya. Jalan keluar tiket yang kemahalan. Bukankah semakin banyak maskapai, maka semakin bersaing pula harga yang ditawarkan. Kayak operator sekarang. Harga paket data yang ditawarkan, gila gilaan gara gara operator yang bejibun. Tiga ratus enam puluh derajat kondisinya dengan maskapai saat ini yang dikuasa oleh dua biji perusahaan saja. Kontrol harga tiket ya mereka mereka aja. Dan ketika isu maskapai luar merebak, dua perusahaan ini pun protes dengan diksi yang sangat manis, "dapat membunuh maskapai lokal". Heloooo? Harga tiket saat ini diprotes jutaan orang perantau kayak saya loh!!!
.
.
.

Alhamdulillah, naik maskapai singa, saya dan puluhan penumpang lain mendarat dengan selamat di kota ibu tiri. Kota yang mengajarkan saya agar bisa menjemput rezeki sebanyak banyaknya agar tidak marah marah ketika harga tiket dinaikan. Memang benar kata para bijak, uang bukan segalanya, segalanya butuh uang. Dan saya tidak setuju kata bijak itu.
.
.
Wasalam.

Minggu, 26 Mei 2019

Posting Lagi

source

Terakhir posting bulan Agustus 2017. What's the meaning? Artinya hampir dua tahun saya vakum menulis. *tepok jidat*. Kenapa sampai tidak pernah lagi menulis. Mungkin banyak alasan yang akan saya kemukakan. Tapi saya rasa alasan terbesar dan paling masuk akal adalah karena MALAS. 

Apakah dengan posting saya hari ini akan membuat saya kembali menulis? Saya tidak tahu juga. Kadang ada momen dimana saya punya mood untuk kembali mengetikan aksara pada keyboard. Namun harus saya akui karena tuntutan pekerjaan sekarang saya lebih sering click and drag menggunakan mouse. 

Mungkin dengan mengubah judul blog menjadi Catatan Ama Taqiy lebih memotivasi saya kembali untuk menulis. Terutama dengan kegiatan keseharian dengan anak saya Taqiy. Semoga.

Let's typing again.

Welcome back blogger :)

Jumat, 18 Agustus 2017

Kucing & Masa Laluku


DISCLAIMER ; TULISAN INI BERSIFAT OPINI PRIBADI TANPA BERMAKSUD MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN. APABILA ADA KESAMAAN TOKOH YANG TERTUANG DALAM TULISAN INI, MOHON DIMAAFKAN. KARENA MEMAAFKAN JAUH LEBIH BIJAK DARIPADA MEMINTA MAAF. 0x0

KUCING. Sewaktu kecil saya sering ditugaskan untuk membuang kucing. Bukannya jahat, tapi keputusan tersebut diambil jika kelakuan si kucing diluar perikemanusiaan dan perikeadilan. Misalkan, boker di sofa ruang tamu tiga kali berturut-turut. Mama saya hampir menangis kalau melihat eek si kucing menumpuk di salah satu sudut sofa. Itu kalau kucingnya nakal. Untuk kucing yang baik hati, sopan dan tidak boker disembarang tempat, mendapatkan perlakuan yang berbeda. Tidak hanya diberi makan tapi juga diberi kasih sayang. Bahkan ada beberapa yang diberi kebebasan untuk membina rumah tangga dan memiliki keturunan. Untuk poin terakhir ini, kami melakukan pembatasan untuk mencegah terjadinya ledakan penduduk ditingkatan hewan karnivora ini. Secara umum kucing bisa melahirkan sampai dengan 100 keturunan seumur hidup, dimana rata-rata jumlah anak yang dilahirkan berkisar 1 - 8 ekor. Biasanya kucing dirumah saya disarankan untuk melahirkan 3-4 ekor bayi. Dan mereka pun mengerti. Toh saat itu zaman dimana upah masih berbentuk butir-butir beras bukannya rupiah. Sehingga jumlah kepala dalam rumah akan mempengaruhi porsi piring saat bersantap. Saya harap Anda semua bisa mengerti posisiku saat itu.

Kembali ke kasus pembuangan kucing. Saya menggunakan cara-cara yang manusiawi dalam proses tersebut. Pertama-tama sediakan umpan untuk mengecoh target datang ke lokasi penjebakan. Umpan biasa berupa nasi campur kaholeo. Saat target memakan umpan, diamkan beberapa menit hingga semua umpan habis dilahap. Tangkap si kucing dengan sekuat tenaga. Masukan ke dalam karung beras goni. Ikat. Lalu bawa ketempat-tempat baru yang memiliki makanan melimpah juga fasilitas yang memadai buat si kucing. Pastikan untuk lokasi pembuangan harus disurvey telebih dahulu sehingga kucing merasa aman, nyaman dan tentram ditempat yang baru.

Nama latin kucing adalah felis catus. Cukup gampang untuk diingat. Bayangkan saja tokoh kartun Felix sedang main Catur. Dan jadilah felis catus. Ada banyak jenis kucing di muka bumi ini. Jenis kucing yang ada dirumah saya tak teridentifikasi. Yang cukup melekat dimemori adalah kucing Angora dan Sphynx. Kucing Angora, kucing yang cukup mahal ini memiliki nama lengkap Turkish Angora karena berasal dari negara Turki. Lalu kucing Sphynx atau Canadian Hairless adalah kucing yang tak memiliki bulu, limited edition, kalau di Indonesia yang punya komik Raditya Dika. Kalau kucing Rasulullah namanya Muezza. Kunon kucing ini juga ikut mengeong saat terdengar azan berkumandang. Populasi kucing menurut wikipedia sudah mencapai 500 juta ekor, dua kali lipat dari jumlah penduduk negara Indonesia. Bahkan, disalah satu pulau di Jepang yang  bernama pulau Aoshima, jumlah kucing lebih banyak daripada jumlah manusia yang hidup dipulau tersebut.

.
.
.

18 Agustus 2017
Dicatat dan diposting setelah jam kerja usai

Kamis, 17 Agustus 2017

Catatan Si Juru Foto


DISCLAIMER ; TULISAN INI BERSIFAT OPINI PRIBADI TANPA BERMAKSUD MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN. APABILA ADA KESAMAAN TOKOH YANG TERTUANG DALAM TULISAN INI, MOHON DIMAAFKAN. KARENA MEMAAFKAN JAUH LEBIH BIJAK DARIPADA MEMINTA MAAF. 0x0

Semua orang mungkin ditakdirkan menjadi fotografer. Mungkin ya. Beberapa acara Nasional yang saya kunjungi sebagian orang secara misterius bertransformasi menjadi fotografer. Foto sana sini dengan latar belakang backdrop acara. Entah ini didasari oleh bakat terpendam dalam ilmu seni cahaya atau hanya sekedar narsis. Saya hanya berpikir seandainya antusias ini turut dibawa serta pada saat dimulainya acara. Bukannya malah sibuk posting di sosmed  sehingga makna acara gak sampai ke audiens. Yang terjadi adalah dunia maya bertaburan foto-foto selvie atau wifie dengan caption bertajuk acara  tersebut namun isi acara terlupakan. 

Beberapa generasi baby boomers yang belum paham teknis foto pun ikut-ikutan. Bedanya mereka meminta tolong kepada semua orang yang dilehernya tergantung kamera DSLR. Permintaan mereka pun tidak hanya sekedar tolong. Tapi minta dicapture dari berbagai angle yang nihil dari teori Jurnalistik. Malah ada yang langsung mengoreksi ditempat. "Kok muka saya gelap?" atau "Backdropnya gak jelas nih!". Saya hanya bisa mengelus dada dan kamera sambil berucap dalam hati. Sebenarnya wajah dan handphone Anda yang bermasalah. 

Sebagai penutup saya ingin bilang : setiap orang berhak untuk menunjukan eksistensinya melalui foto namun jangan melupakan makna atau konten acara yang ingin dihadiri ya. :) 

17 Agustus 2017
Dicatat ketika menghadiri acara disalah satu kawasan Ancol mendampingi TRIPOD.

Senin, 14 Agustus 2017

Perihal Bully


DISCLAIMER ; TULISAN INI BERSIFAT OPINI PRIBADI TANPA BERMAKSUD MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN. APABILA ADA KESAMAAN TOKOH YANG TERTUANG DALAM TULISAN INI, MOHON DIMAAFKAN. KARENA MEMAAFKAN JAUH LEBIH BIJAK DARIPADA MEMINTA MAAF. 0x0

Lagi-lagi kita harus mengakui kebijakan dan kebijaksanaan para tetuah yang bisa mengelaborasi kata-kata dalam bentuk pepatah. Singkat tapi sarat makna. Salah satunya seperti ini, gajah dipelupuk mata gak nampak tapi kuman diseberang lautan tampak begitu jelas. Jika dihubungkan dengan perihal bully, kita atau bisa saya sebut para manusia terpelajar kekinian yang sering wara-wiri dunia sosmed begitu intens mengecam kegiatan bully ini.  Tidak manusiawilah. Kasarlah. Manusia rendah. Dan banyak bunyi yang bergaung menyatakan ketidaksetujuan tentang prilaku yang satu ini. Tapi sadar gak sadar, dalam porsi yang mungkin terbilang kecil, kita pun kadang melakukan bully. Maksud hati bercanda namun tersirat aksi bully. Dan ini sering loh kita lakukan tanpa terdeteksi oleh hati nurani kita. Misal di grup sosmed, ada kawan memosting sesuatu. Kawan lain tiba-tiba menimpali dengan statemen yang agak mengganggu. Kawan yang lain pun ikut nimbrung dan berujung pada memojokan sikawan yang posting pertama tadi. Situasinya mungkin dipenuhi rasa keakraban, ketawa-ketiwi, dan cengengesan. Tapi apa kita terketuk dalam sanubari kita bahwanya ini pun bully. Contoh lain : seorang stakeholder mengeluarkan kebijakan  'sesuatu' dengan alasan untuk rakyat bla bla bla.  Berita ini kemudian menjadi sorotan media dan para netizen mulai berkomentar. Ada yang setuju tapi lebih banyak yang menyindir. Kita yang mungkin tidak sepaham dengan kebijakan itu pun ikutan nimbrung dengan para netizen negatif ini. Mengeluarkan chit chat yang bersifat menyalahkan tanpa ada solusi yang ditawarkan. Bukankah ini juga kategori bully? Saya sendiri tidak sesuci 'orang suci' yang dalam bermedsos murni tanpa ada cela. Tidak. Saya pun masih dalam proses belajar untuk bisa bersikap lebih baik. Berproses untuk menjadi manusia yang tidak sekedar omong besar berucap TOLAK BULLY tapi juga sinergi dengan sikap dan tindakan tidak melakukan bully ke orang lain. Pada akhirnya ingat bicara orang tua. Memang agak terdengar kuno dimata anak kekinian tapi itulah yang terbaik. 

Cempaka Putih, 15 Agustus 2017

Senin, 17 Juli 2017

Tidak Pake Judul (Lagi)

Disclaimer
bagi pembaca blog ini (masih ada ya :P) mohon postingan kali ini disarankan untuk tidak dibaca. Secara konten postingan dibawah lebih cocok masuk kategori isi diary ketimbang dipublish di internet. Terima kasih.

Salah satu kebiasaan yang patut untuk dilaksanakan adalah menulis. Mungkin orang lain bahkan saya sendiri juga mulai bosan dengan perilakuku yang terkadang tidak konsisten dalam hal menulis. Blog yang dititip dipenampungan blogspot kurasa sudah dalam status busung lapar akibat kurang asupan posting. Harusnya departemen terkait sudah melakukan tindakan tegas untuk kasus penelantaran ini. Mumpung masih ada waktu, mumpung masih ada matahari, bagaimana kalau kota mencoba kembali menulis. Bukan tidak mungkin ini bisa jadi pintu rezeki baru untuk saya dan terutama untuk keluarga kecil saya. Bissmillahirrahmanirrahim.

Gambarnya gak nyambung. Asli dicapture pake hp sendiri. Menghindari budaya plagiat.